“Maafkan aku yang terlalu memasang pintu ego tepat di depan gerbang hati ini.”
“Maafkan aku yang tak sempat membukanya sebelum kamu murka melihatnya.”
“Maafkan aku yang tak mampu merangkai kalimat berbunga terbungkus agitasi.
“Maafkan aku yang tak mampu berevolusi dari sebuah kenyataan yang ternyata hanya ilusi.”Sudah berapa maaf? Ah! Itu saja mungkin tak cukup, butuh banyak teori konsep untuk menjelaskan satu makna yang tak pernah tersampaikan ini. Konsep perasaan yang masih ku simpan rapat-rapat terbungkus kertas tipis yang dinamai rindu. Kertas itu rapuh, mudah rusak karena tetesan hujan dari mata, mudah terbakar karena api cemburu yang kadang membara. Dengan sebuah kotak di dalamnya yang terbuat dari baja, keras! Namun hanya kamu yang mampu meluluhkannya. Dengan seutas tali di atasnya, mengikat antara hatiku dan hatimu. Maka, aku butuh hatimu untuk membukanya.
Namun itu percuma. Tinggal getir yang terkecap di lidah. Maaf yang sia-sia. Cinta yang terhempas karena rasa hati-hati yang menggelora. Satu kata yang tersisa: Percuma. Pertempuran dua hati yang mencoba mengikat dan dan saling memiliki namu lupa konsep paling luhur.
Lupa, karena kedewasaan tak akan pernah bisa dihitung dengan satuan waktu.
Lupa, kesempurnaan yang mereka cari adalah jurang pemisah yang tak akan pernah bisa dilangkahi dulu.
Untukmu, aku telah buang mimpi kesempuraan itu. Aku bisu, sampai kau tak kembali disisiku untuk berbagi rindu itu.