Kamis, 29 November 2012

Aku TERLUpA dan TERLUkA

Ada satu kata yang tak pernah terucap, ada satu makna yang tak pernah terungkap. Satu kata itu mestinya utuh, dengan segala kepastian yang terus ditabuh. Namun perasaan ini tak pernah penuh. Sebab perlahan dirimu pun menjauh, seolah-olah akulah titik keruh.
“Maafkan aku yang terlalu memasang pintu ego tepat di depan gerbang hati ini.”
“Maafkan aku yang tak sempat membukanya sebelum kamu murka melihatnya.”
“Maafkan aku yang tak mampu merangkai kalimat berbunga terbungkus agitasi.
“Maafkan aku yang tak mampu berevolusi dari sebuah kenyataan yang ternyata hanya ilusi.”
Sudah berapa maaf? Ah! Itu saja mungkin tak cukup, butuh banyak teori konsep untuk menjelaskan satu makna yang tak pernah tersampaikan ini. Konsep perasaan yang masih ku simpan rapat-rapat terbungkus kertas tipis yang dinamai rindu. Kertas itu rapuh, mudah rusak karena tetesan hujan dari mata, mudah terbakar karena api cemburu yang kadang membara. Dengan sebuah kotak di dalamnya yang terbuat dari baja, keras! Namun hanya kamu yang mampu meluluhkannya. Dengan seutas tali di atasnya, mengikat antara hatiku dan hatimu. Maka, aku butuh hatimu untuk membukanya.

Namun itu percuma. Tinggal getir yang terkecap di lidah. Maaf yang sia-sia. Cinta yang terhempas karena rasa hati-hati yang menggelora. Satu kata yang tersisa: Percuma. Pertempuran dua hati yang mencoba mengikat dan dan saling memiliki namu lupa konsep paling luhur.

Lupa, karena kedewasaan tak akan pernah bisa dihitung dengan satuan waktu.

Lupa, kesempurnaan yang mereka cari adalah jurang pemisah yang tak akan pernah bisa dilangkahi dulu.

Untukmu, aku telah buang mimpi kesempuraan itu. Aku bisu, sampai kau tak kembali disisiku untuk berbagi rindu itu.


LAH.....

Datanglah... Peluklah .... Ciumlah... Rebahlah... Bukalah... Mendesahlah....

Jika Kau Takut Sepi, Lari

Kalau kau takut sepi, lari!

Akan banyak gaduh di luar sana, banyak syahdu di binaria sana, serta banyak rindu di setiap sudut kota yang tak kenal apa itu fana.

Takut? Mau sampai kapan? Mau sampai kapan hatimu terus diburu pilu? Diburu rasa rindu ingin mengadu pada satu makna yang ingin kau tuju.

Takut? Mau sampai kapan? Mau sampai kapan kamu terdiam di ujung sepi yang tak ada tepi?

Jikalau nanti kau pun terjatuh, itu adalah sebuah pilihan. Pilihan dimana Tuhan memberikan kesempatan untuk memberi  kekuatan pada umatnya yang butuh pengobatan.

Obat itu langka, hanya dirimu yang terjatuh yang mampu mendapatkannya, hanya dirimu yang terjatuh yang mampu mendiagnosanya.

Maka dari itu…

Lari! Akan ada banyak kaki yang akan menghalangi mu nanti. Akan ada sejuta caci maki yang akan kamu dengar nanti.

Lari! Dan berhenti pada satu titik nadi, dimana hanya mati yang mampu menghalangimu nanti.

Dari Aku, Potongan Masa Lalu

Tak ada yang tahu pasti soal perasaan kecuali dengan meyakininya sebagai perasaan. Sebuah cerita dari guratan masa lalu yang tak mau hilang meski usang termakan waktu.

Pagi yang sama, yang membuncahkan damba, yang menguatkan setia untuk orang yang paling sering ku sebut ketika berdoa.

Ada banyak cara menyebut nama mu disini. Bisa dengan lewat air mata yang melukakan senja, bisa juga lewat bibirku yang terbata mengucap sebuah derita.

Kini hanya maaf yang bisa dihadirkan di penghujung sebuah penantian yang tak tau kapan akan merapat ke tepian. Sebab, pagi itu kan tetap sama. Namun dengan harapan yang berbeda.

Habis sudah doa dalam kata, melebur dalam buraian air mata tiap kali menyebut melodi sebuah nama dan merasakanmu dari dekat. Dengan rindu yang melipatgandakan harapan tanpa sekat. Nama itu kadang masih bisa ku lihat terikat bersama lirih yang melekat dalam malam yang pekat.

Bukan aku bosan dengan kata-kata kepastian, melainkan selalu ada sedih yang mengemuka saat ku tahu kamu ditelan lelah yg membelah raga.

Kamu tahu?

Kamu adalah ketidakpastian yang begitu nyata. Kamu adalah sebuah kenyataan yang tak bisa dihadirkan dalam ruang dialegtika.

Kamu adalah lelahku menatap, diamku berucap, serta habisku berharap.

Kini, biarkan pagi itu menjadi hakiki, hak dimana hatiku ini tak akan pernah kau sakiti lagi meskipun hanya satu kali.

Dari aku, potongan kisah masa lalu mu yang tak mau lagi dirundung pilu.

Dari Catatan Seorang Diri

Aku bukan pujangga dan tak akan pernah bisa bermetafora.

Meskipun beribu paksa kan terus datang mencoba untuk selalu menyiksa.

Aku hitam putih, di atas kertas dan kurang dimensi. Dengan segala esensi, aku selalu praktis dan realistis.

Dengan injeksi logika yang kupikir perlu, semua terlihat sama. Karena sepi takan pernah kenal yang namanya pribadi

Aku sendiri kadang lelah berpikir murni dengan sel-sel otak yang berkerja menerjemahkan apa yang kalian anggap absurditas.

Aku butuh spasi, dalam pikiran yang selalu kalian anggap stagnan dan selalu basi.

Yang aku tau hanya datar ketika balutan nafas yang kadang selalu bergetar hinggap dalam sel otak tanpa jeda.

Hmmm.. Mungkin itu yang disebut aplikasi substansi berjudul kepribadian.
Perlu kalian ketahui;
“Sendiri itu kadang perlu, bagi kalian yang ingin mencari apa itu arti sedikit surgawi”
Dari aku, pria dewasa yang selalu terpana tiap kali melihat gadis berkacamata

Hai Tatapan Mata Kosong

Hai tatapan mata paling kosong yang terkasihi.

Tahukah kamu?

Di antara kedua mata itu aku luluh berserakan tatkala menahan senyum yang datang tiap kali rindu memaksa untuk menatapnya.

Entah cuma tatapan matamu saja yang kosong atau perhatianmu juga mengikutinya. Sebab yang ku tahu, tiap kali aku bertanya pada bagian ruangan itu, selalu ada gema kata yang tak terbalas. Selalu ada percakapan yang tak ingin kamu bahas.

Aku menunggu, menunggu bibir tipismu bergerak mengucap sebuah kata rindu. Seperti yang selama ini aku lakukan ketika remah hati berserakan karena terlalu banyak menunggu.

Perlahan tapi pasti, seluruh dirimu mulai merajai tubuh ini. Dengan gengsi yang patah terkalahkan akan rasa yang ingin dikasihi. Ya, aku suka cara matamu menatap harapan dan menyandingkannya dengan keyakinan. Karena yakin adalah tujuanku.

Aku tak mau terlalu dini untuk kehilangan kamu.
Sebab ada damba yang tak ingin lepas, ada rindu yang tak ingin kandas, dan ada perhatian yang ingin dibalas.

Ada rentetan huruf yang belum ku-eja. Tersimpan dalam buku waktu yang terus ku jaga. Kutelusuri satu per satu halamannya hingga halaman terakhir bahwa kita adalah jawabannya.

Semalam, adalah satu dari sekian banyak hari yang terus terang sangat menarik dan menghiburku di dunia nyata. Kamu pujaan, dengan bangga telah menjatuhkan lagi hati ke seseorang. Dan akulah orang tersebut.

Kamu tahu?

Saat kamu berada jauh di garis waktu, sekejap jarum jam tak ubahnya seperti belati. Setiap detiknya menghunjam jantungku berkali kali.


Rindu, Ter MOKZHA ??

Sore tadi, sedikit ku dengar percakapan hujan dari balik pintu jendela. Dan kamu tahu apa kata hujan tentang kita?

Sedikit yang terekam dari asa, mereka melihat kita bagaikan seorang masinis tanpa kereta. Masinis yang ingin selalu melaju dengan jalan pikiran yang selalu terbuka.

Dan aku, aku hanya bisa mengamini setiap apa kata hujan bercerita. Itu fakta, dan apadaya itulah kita.

Jalan itu begitu jelas di depan mata, meskipun kadang sedikit kerikil mampu mengganggu jalannya gerbong kereta. Itu kita, kita adalah gerbong kereta yang saling terikat dan kurang begitu paham makna akan cinta.

Ibarat kereta, kita adalah kereta yang tak bermesin tapi ingin selalu cepat sampai ke tujuan. Tujuan akhir dari segalanya yang orang-orang dambakan. Kita terlupa, masih ada jutaan rindu yang harus dibebankan. Masih ada amin di setiap perjalanan yang akan kita tuju berdua.

Intinya, hujan tadi sore mengisyaratkan akan rindu bertemunya kedua mata. Mengajarkan akan suatu kesalahan yang ditanggapi dengan kesalahan berikutnya karena arogansi, emosi, dan sulut provokasi sering membuat yang awalnya benar menjadi kalimat semata yang terus pudar.

Hujan saja begitu hafal bagaimana caranya mereka menjatuhkan diri meski ribuan orang kadang mencaci. Mereka tak peduli berdansa meski aluran petir yang terkadang meledak membahana.

Memang begitulah seharusnya kita.

Oh iya, sebelum hujan tadi tiba, mendung juga telah bercerita tentang gelap yang tak selalu diakhiri dengan air mata.

Begitu juga kita, bahwa rindu tak harus selalu diawali dengan sebuah kata derita.